Minggu, 30 Mei 2010

C. AKUTANSI PERBANKAN

1.Net Interest Margin (NIM)
merupakan indikator yang menunjukan selisih antara suku bunga pinjaman dikurangi suku bunga kredit. Namun demikian faktor yang menentukan laba perusahaan bukanlah hanya NIM karena ada banyak rentetan variabel biaya lainnya.
Beberapa hal yang mempengaruhi besar kecilnya NIM adalah pertama, fokus bisnis suatu bank. Dapat kita perhatikan NIM untuk Bank yang fokus pada kredit korporasi berkisar 4-6% sebaliknya Bank yang memiliki fokus pada kredit UMKM terlebih kredit mikro NIM dapat menembus angka 10%. Pada bank fokus kredit mikro yang kita temukan adalah nasabah yang masiv dan tersebar sehingga harus memiliki unit kerja yang luas, IT database yang besar, membutuhkan tata kelola administrasi sesuai jumlahnya yang masiv, serta bersifat padat karya. Hal ini membuat biaya overhead bank menjadi besar, selain itu pricing dalam kredit mikro juga wajib menambahkan faktor risk premium oleh karena sistem penghapusan otomatis untuk debitur dengan kolektibilitas macet dengan usia menunggak lebih dari 180 hari. Hal itulah sebenarnya yang membuat NPL kredit mikro sangat rendah namun pricing tinggi. Komponen pembentuk tingkat suku bunga kredit adalah suku bunga simpanan ditambah biaya overhead ditambah risk premium dikurangi pemasukan extracomtable ditambah margin keuntungan yang dikehendaki (spread).
Faktor kedua adalah penetapan strategi pemasaran Bank. Beberapa bank melakukan praktik bunga murah namun dikompesasi dengan potensi fee based income(FBI). Hal ini juga dapat dikaji lebih jauh karena FBI merupakan pendapatan yang umumnya langsung diterima bank dimuka sehingga dapat langsung masuk pendapatan tanpa harus menunggu angsuran ataupun pelunasan.
Dari dua faktor tadi menunjukan efisiensi sebuah bank tak bisa dinilai dari tinggi rendahnya NIM melainkan ada serentetan rasio lainnya yang dapat dijadikan tolok ukur seperti Return On Asset (ROA), Return On Equity (ROE), dan masih banyak lainnya tergantung dari sudut mana kita ingin melihat kinerjanya.

BOPO Perbankan
Rasio BOPO pun dalam 4 bulan terakhir ini menunjukan peningkatan dari 83,41% di Agustus 2008 meningkat menjadi 88,59% di akhir tahun 2008. Menurut pengamatan kami hal ini disebabkan oleh dua hal, pertama meningkatnya kredit bermasalah dan adaya penghapusbukuan terhadap aktiva produktif yang macet pada akhir tahun 2008. Kedua, masih seretnya likuiditas sehingga biaya pengadaan DPK menjadi meningkat (suku bunga simpanan dan biaya ovehead).
Seperti halnya NIM, rasio BOPO pun tidak dapat serta merta menghakimi perbankan tidak efisien karena dengan kompetisi yang semakin ketat baik dalam hal pengumpulan dana maupun penyaluran kredit tentunya margin antara pendapatan dan biaya akan semakin tipis yang akan mengerek naiknya BOPO.
Respon bank terhadap penurunan BI Rate
Seretnya likuiditas perbankan dan masih tingginya yield di pasar obligasi menyebabkan bank kesulitan pendanaan kredit dan menjaga rasio kecukupan modal. Hal tadi disinyalir menjadi hambatan perbankan dalam menurunkan suku bunga kreditnya. Tuntutan dari para deposan besar akan imbal hasil yang tinggi karena di pasar obligasi menawarkan imbal hasil yang lebih baik membuat bank belum berani menurunkan suku bunga simpanan karena risiko maturity missmatch selalu menghantui perbankan. Selain itu, suku bunga deposito yang belum jatuh tempo wajib dipenuhi bank. Sehingga menurut hemat kami respon atas penurunan BI rate sangat tergantung pula terhadap pasar keuangan dan membutuhkan waktu penyesuaian.

Beberapa Catatan Penting
Di tengah ancaman naiknya kredit bermasalah dan likuiditas dalam negeri yang seret, ekspor yang stagnan dan dampak resesi global membuat perbankan wajib berjaga-jaga. Namun demikian perbankan tetap dituntut oleh para pemegang saham untuk terus tumbuh baik laba, asset maupun harga sahamnya. Selain shareholder, pemerintah selaku stakeholder pun meminta agar bank bisa menyalurkan dananya dalam bentuk kredit ke sektor riil guna menggerakakan perekonomian ditengah ancaman pelambatan ekonomi ke level 4% yang tentunya akan dapat mengerek angka pengangguran dan angka kemiskinan.
Sudah barang tentu bank yang solid sudah memiliki simulasi (stress testing) untuk antisipasi kenaikan NPL, kenaikan biaya overhead, dan kenaikan biaya lainnya yang harus dikompensasi dengan penyesuaian margin keuntungan (spread) ataupun peningkatan fee based income.
Sebagai counter cyclical ancaman resesi, perbankan sangat mengharapkan dukungan pemerintah dalam kebijakan fiskal yaitu pertama, realisasi proyek stimulus, agar pasar segera dibanjiri likuiditas dan sektor riil dapat menggeliat. Kedua, bank mendapat insentif pajak seperti hal beberapa bidang lainnya terutama perbankan yang mendukung ekonomi domestik (UMKM). Ketiga,untuk mengkaji ulang aturan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) sehingga kendala keterbatasan modal dan pricing tinggi dapat diminimalisasi karena bank dengan modal dan DPK yang kuat tidak dapat memonopoli pasar. Pasar perbankan yang semakin kompetitif akan membuat pricing dan layanan perbankan semakin prima dan efisien sehingga berdampak positif terhadap perekonomian kita. Semoga perbankan kita mampu menjawab kebutuhan para shareholder dan stakeholder-nya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar