Jumat, 12 Maret 2010

Reformasi Peraturan Perbankan Amerika Serikat 11 Feb 2010

Reformasi Peraturan Perbankan Amerika Serikat

Oleh Wan Rimau

Pengamat Ekonomi dan Perbankan Internasional

Ketika kita berbicara mengenai Amerika Serikat (AS) maka satu kata yang tepat menggambarkan negara adikuasa tersebut adalah "liberal" Kemajuan demokrasi dan ekonomi AS yang menerapkan prinsip-prinsip superliberal menjadi acuan bagi berbagai negara dalam menjalankan kebijakan pemerintahan dan ekonomi mereka. Namun, dengan munculnya krisis finansial yang melanda AS dan berpengaruh secara global, maka saat ini timbul pertanyaan apakah prinsip-prinsip ekonomi yang superliberal masih pantas dipertahankan?

Terpilihnya Barack Obama sebagai Presiden AS dari Partai Demokrat merupakan momen bersejarah bagi AS karena Obama merupakan warga kulit hitam pertama yang terpilih memegang jabatan tersebut. Janji kampanye Obama yang bersifat populis menemukan momentumnya ketika AS dilanda krisis finansial sehingga publik menghendaki adanya perubahan mendasar dalam kebijakan industri perbankan dan perekonomian.

Melalui slogan "changeyou can believe in" Obama memberikan harapan perubahan dari quo sistem yang mengandalkan pertumbuhan dari pasar uang dan pasar modal. Di tengah kemerosotan ekonomi, Obama menjanjikan perubahan sistem perbankan dan perekonomian nasional yang lebih berpihak kepada rakyat propeople economy and financial institutions reform dibandingkan keberpihakan kepada korporasi besar dan industri raksasa.
Suatu janji kampanye yang mengena bagi rakyat AS di tengah keterpurukan ekonomi yang mereka hadapi sehingga berhasil mengantar Obama ke tampuk kekuasaan.

Produk "Subprime"

Kehancuran industri perbankan dan pasar finansial AS akibat penggelembungan aset-aset finansial dan tidak terkontrolnya beragam produk finansial berisiko tinggi, seperti produk subprime. Produk ini merupakan utang yang dilandasi oleh utang berlapis-lapis dengan menggunakan jaminan aset-aset yang tidak punya nilai nyata seperti halnya aset properti yang sudah

terinflatoir nilainya secara liar. Produk subprime selanjutnya diikuti oleh produk-produk turunan dan sampingan yang bersifat derivatif atau maya dan dijual sebanyak-banyaknya secara ndak bertanggung jawab serta tanpa kalkulasi risiko yang wajar demi meraup keuntungan melalui transaksi semu. Akhirnya, praktik ini membangkrutkan industri perbankan AS.

"Glass-Steagall Act"

Kebijakan ekonomi Pemerintah AS yang sangat liberal dimulai pada era Presiden Bill Clinton, yaitu kabinetnya dipenuhi figur yang sangat pro-ekonomi liberal, pro-industri perbankan yang superliberal dan pasar modal yang penuh rekayasa. Robert Rubin, mantan menteri keuangan era Presiden Bill Clinton, sebelumnya adalah co-chairman di perusahaan investment banking Goldman Sachs.

Sebagai pemegang kebijakan di sektor finansial, Rubin sepenuhnya percaya dengan pertumbuhan ekonomi melalui pertumbuhan finansial dan pasar modal. Pada masa Rubin inilah muncul kebijakan pencabutan Undang-Undang Glass-Steagall Act (GSA) pada 1999. Padahal, UU tersebut telah ada sejak 1933 dan dibuat untuk memisahkan aktivitas perbankan komersial dan bank investasi. Pembentukan GSA pada awalnya bertujuan menanggulangi krisis ekonomi 1929 yang merupakan kriris terparah sepanjang sejarah AS. Pembatalan GSA mengakibatkan diizinkannya bank campuran antara bank komersial dan bank investasi.

Secara sederhana, kebijakan pemerintah untuk meliberalisasi pasar uang secara tidak terkendali dan diikuti dengan pembatalan GSA pada 1999, memungkinkan pencapaian pertumbuhan usaha yang fantastis dan cepat dari kedua sektor perbankan itu. Pertumbuhan usaha ini berlangsung selama 10 tahun berturut-turut dalam pemerintahan Clinton.

Bersifat sistemik

Namun, manfaat dari penghapusan GSA yang diikuti peningkatan risiko usaha secara eksponensial tersebut mengakibatkan penggelembungan aset dari pasar modal dan pasar finansial yang sedemikian rupa dan sulit untuk dihentikan sampai titik yang paling berbahaya yaitu terjadinya financial market meltdown mulai era pemerintahan George W Bush. Tepatnya saat sebelum masa jabatannya yang kedua pada 2005-2006 sehingga menjadi titik nadir pada akhir masa pemerintahannya.

Bank investasi harus menutupi kewajiban likuiditas yang sedemikian besar dalam bentuk instrumen subprime sehingga memaksa Pemerintah Obama secara besar-besaran mengeluarkan bantuan atau bailout mencapai total 700 miliar dollar AS.

Khusus untuk industri perbankan, dana bailout mencapai 250 miliar dollar AS. Bailout diberikan juga pada sektor ril seperti perusahaan otomotif yang terimbas langsung akibat penurunan permintaan pasar.Lehman Brothers sebagai bank investasi terkemuka di AS harus dibiarkan bangkrut. Kebijakan Pemerintah AS saat itu tidak meno-leransi betapapun besarnya bank yang bersifat sistemik jika ternyata manajemen bank tersebut sangat buruk dan tidak mampu membenahi krisis internal mereka. Bank-bank semacam ini tidak layak diselamatkan demi kepercayaan pasar yang lebih besar.

Belajar dari 20 tahun kebijakan industri perbankan dan finansial di AS yang superliberal dan minimnya peran pemerintah dalam pengawasan yang ketat, mengakibatkan pasar modal dan pasar keuangan yang penuh dengan abuse dan rekayasa. Hal ini tentu membahayakan fondasi keuangan AS karena negara dipermainkan oleh utang yang begitu besarnya.

Dari grafik di atas terlihat bahwa utang AS sangat masif dan diproyeksikan mencapai 70 persen dari gross domestic product (GDP) pada 2015 padahal sebelumnya hanya berkisar 40 persen dari GDP.Becermin dari pengalaman AS tersebut, saat ini para pakar ekonomi mulai memberikan pengakuan terhadap teori ekonomi Keynesian yang dikenalkan oleh ekonom Inggris John Maynard

Keynes. Teori Keynes yang dipublikasikan pada 1936 itu menekankan pentingnya peran pemerintah dalam membuat kebijakan dan pengawasan ketat dalam praktik perekonomian suatu negara.Usaha Obama menyelamatkan sektor perbankan melalui bailout yang sangat masif ini banyak dikeluhkan oleh rakyat AS karena pajak dan utang publik dipakai untuk membantu sekelompok perbankan dan industri sektor riil yang tidak efisien, mismanajemen, dan pengambilan risiko usaha yang berlebihan.

Apalagi kemudian diketahui industri dan perbankan penerima dana bailout memberikan bonus dengan jumlah yang fantastis kepada jajaran eksekutif mereka. Publik sangat marah dan menyebutnya sebagai "obscene" bonuses. Obama Levy dan Volcker Rules

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka Obama harus mengambil tindakan keras untuk mendisiplinkan korporasi. Tindakan yang diusulkan adalah Menerapkan pajak khusus yang sangat tinggi sampai 90 persen atas bonus yang diterima para eksekutif perbankan yang menerima bailout.

Memberikan dukungan penuh kepada Paul Volcker, mantan Ketua Federal Reserve atau Fed dan ketua Komite Penasihat Pemulihan Ekonomi Obama, untuk kembali mengimplementasikan GSA yang memisahkan aktivitas perbankan komersial dan bank investasi dengan segala larangan perbankan yang berisiko tinggi seperti proprietary trading (perdagangan untuk diri sendiri) dan kemungkinan bank menjual hedge funds (dana investasi derivatif berisiko tinggi).

Menerapkan pajak terhadap seluruh produk perbankan sebesar Titik Balik Perbankan Paul Volcker sejak awal menentang kebijakan pasar finansial yang superliberal untuk membatasi risiko perbankan. Pada 1981, Volcker menaikkan suku bunga Fed fund rate sampai 10 persen di atas tingkat inflasi untuk menekan laju inflasi, suatu langkah yang sangat konservatif dengan menggunakan kontrol pemerintah untuk menghindari risiko pasar.

Namun disayangkan bahwa Volcker tidak pernah diberi kesempatan oleh ketiga presiden terdahulu untuk menerapkan kebijakannya. Maka, keputusan Obama untuk mendukung penuh kebijakan Volcker "Volcker Rules" menjadi titik balik Pemerintah AS akibat habisnya kesabaran terhadap industri perbankan yang tidak pernah mau belajar dari kesalahan-kesalahan masa lalu.

Langkah yang diambil Obama memang tidak akan mudah, mengingat "Volcker Rules" belum tentu disetujui kongres terutama dari kalangan Republik yang akan menentang kebijakan ini. Namun, terlepas dari pertentangan tersebut, apa yang dilakukan Obama merupakan titik balik krusial dari sistem finansial dan ekonomi superliberal yang tidak sustainable.

Perlu Becermin

Praktik ekonomi superliberal yang berujung pada risiko kebangkrutan sebagai akibat tidak didampingi dengan pertanggungjawaban moral dan hukum secara nyata, telah mengguncang fondasi ekonomi AS. Indonesia harus lebih berhati-hati karena pada 1997-1998, Indonesia pernah dilanda kriris perbankan akibat pelanggaran-pelanggaran hukum perbankan yang sangat masif dan disengaja oleh manajemen dan pemilik bank seperti pelanggaran batas maksimal pemberian kredit (BMPK) dan pelanggaran yang disengaja oleh pihak manajemen perbankan. Harus dibedakan krisis perbankan akibat imbas contagion dengan kiris yang disebabkan oleh pelanggaran hukum.

Entitas terkaitApalagi | Bailout | Bank | Becermin | Belajar | Bersifat | Fed | Goldman | GSA | Indonesia | Janji | Kebijakan | Kehancuran | Kemajuan | Keynesian | Khusus | Langkah | Memberikan | Menerapkan | Obama | Paul | Pertumbuhan | Praktik | Produk | Publik | Republik | Robert | Rubin | Steagall | Suatu | Tepatnya | Tindakan | UU | Volcker | Amerika Serikat | George W | Lehman Brothers | Obama Levy | Partai Demokrat | Paul Volcker | Pembatalan GSA | Pembentukan GSA | Pemerintah AS | Pemerintah Obama | Pengamat Ekonomi | Perbankan Internasional | Perlu Becermin | Presiden AS | Presiden Bill | Steagall Act | Teori Keynes | Usaha Obama | Volcker Rules | Inggris John Maynard | Kebijakan Pemerintah AS | Ketua Federal Reserve | Oleh Wan Rimau | Terpilihnya Barack Obama | Titik Balik Perbankan | Komite Penasihat Pemulihan Ekonomi | Reformasi Peraturan Perbankan Amerika Serikat |
Ringkasan Artikel Ini
"Glass-Steagall Act" Kebijakan ekonomi Pemerintah AS yang sangat liberal dimulai pada era Presiden Bill Clinton, yaitu kabinetnya dipenuhi figur yang sangat pro-ekonomi liberal, pro-industri perbankan yang superliberal dan pasar modal yang penuh rekayasa. Bersifat sistemik Namun, manfaat dari penghapusan GSA yang diikuti peningkatan risiko usaha secara eksponensial tersebut mengakibatkan penggelembungan aset dari pasar modal dan pasar finansial yang sedemikian rupa dan sulit untuk dihentikan sampai titik yang paling berbahaya yaitu terjadinya financial market meltdown mulai era pemerintahan George W Bush. Belajar dari 20 tahun kebijakan industri perbankan dan finansial di AS yang superliberal dan minimnya peran pemerintah dalam pengawasan yang ketat, mengakibatkan pasar modal dan pasar keuangan yang penuh dengan abuse dan rekayasa. Usaha Obama menyelamatkan sektor perbankan melalui bailout yang sangat masif ini banyak dikeluhkan oleh rakyat AS karena pajak dan utang publik dipakai untuk membantu sekelompok perbankan dan industri sektor riil yang tidak efisien, mismanajemen, dan pengambilan risiko usaha yang berlebihan. Memberikan dukungan penuh kepada Paul Volcker, mantan Ketua Federal Reserve atau Fed dan ketua Komite Penasihat Pemulihan Ekonomi Obama, untuk kembali mengimplementasikan GSA yang memisahkan aktivitas perbankan komersial dan bank investasi dengan segala larangan perbankan yang berisiko tinggi seperti proprietary trading (perdagangan untuk diri sendiri) dan kemungkinan bank menjual hedge funds (dana investasi derivatif berisiko tinggi). Indonesia harus lebih berhati-hati karena pada 1997-1998, Indonesia pernah dilanda kriris perbankan akibat pelanggaran-pelanggaran hukum perbankan yang sangat masif dan disengaja oleh manajemen dan pemilik bank seperti pelanggaran batas maksimal pemberian kredit (BMPK) dan pelanggaran yang disengaja oleh pihak manajemen perbankan.

Jumlah kata di Artikel : 1230
Jumlah kata di Summary : 256
Ratio : 0,208

*Ringkasan berita ini dibuat otomatis dengan bantuan mesin. Saran atau masukan dibutuhkan untuk keperluan pengembangan perangkat ini dan dapat dialamatkan ke tech at mediatrac net.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar