Suatu perjanjian, merupakan suatu peristiwa di mana seorang berjanji
kepada seorang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu. Menilik macamnya hal yang dijanjikan untuk
dilaksanakan, perjanjian-perjanjian itu dibagi dalam tiga macam, yaitu
:
- perjanjian untuk memberikan/menyerahkan suatu barang, misalnya jual beli, tukar menukar, penghibahan (pemberian), sewa menyewa, pinjam pakai.
- perjanjian untuk berbuat sesuatu, misalnya perjanjian untuk membuat suatu lukisan, perjanjian perburuhan.
- Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu, misalnya perjanjian untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang sejenis dengan kepunyaan seorang lain.
Wanprestasi
Apabila si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka dikatakan ia melakukan “wanprestasi”. Wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam :
- tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
- melaksankan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
- melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
- melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Mengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan
suatu perbuatan, jika dalam perjanjian tidak ditetapkan batas waktunya
tetapi si berutang akan dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang
ditentukan, pelaksanaan prestasi itu harus lebih dahulu ditagih. Apabila
prestasi tidak seketika dapat dilakukan, maka si berutang perlu
diberikan waktu yang pantas.
Sanksi yang dapat dikenakan atas debitur yang lalai atau alpa ada empat macam, yaitu:
- membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti-rugi;
- pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian;
- peralihan resiko;
- membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.
1. Membayar Kerugian
Ganti rugi sering dirinci dalam tiga unsur: biaya, rugi dan bunga.
- Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak. Contoh nya jika seorang sutradara mengadakan suatu perjanjian dengan pemain sandiwara untuk mengadakan suatu pertunjukan dan pemain tersebut tidak datang sehingga pertunjukan terpaksa dibatalkan, maka yang termasuk biaya adalah ongkos cetak iklan, sewa gedung, sewa kursi dan lain-lain.
- Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur. Misalnya rumah yang baru diserahkan oleh pemborong ambruk karena salah konstruksinya, hingga merusak perabot rumah.
- Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur. Misalnya, dalam hal jual beli barang, jika barang tersebut sudah mendapat tawaran yang lebih tinggi dari harga pembeliannya.
Code Civil memperinci ganti rugi itu dalam dua unsur, yaitu dommages et interests. Dommages meliputi biaya dan rugi seperti dimaksudkan di atas, sedangkan interest adalah sama dengan bunga dalam arti kehilangan keuntungan.
Dalam soal penuntutan ganti rugi, oleh undang-undang diberikan
ketentuan-ketentuan yang merupakan pembatasan dari apa yang boleh
dituntut sebagai ganti rugi.
Pasal 1247 KUHPer menentukan :
“Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya rugi dan bunga yang
nyata telah atau sedianya harus dapat diduga sewaktu perjanjian
dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan
karena sesuatu tipu daya yang dilakukan olehnya”.
Pasal 1248 KUHPer menentukan :
“Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena
tipu daya si berutang, penggantian biaya, rugi dan bunga, sekedar
mengenai kerugian yang diderita oleh si berpiutang dan keuntungan yang
terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat
langsung dari tak dipenuhinya perjanjian”.
Suatu pembatasan lagi dalam pembayaran ganti rugi terdapat dalam peraturan mengenai bunga moratoir.
Apabila prestasi itu berupa pembayaran sejumlah uang, maka kerugian
yang diderita oleh kreditur kalau pembayaran itu terlambat, adalah
berupa interest, rente atau bunga.
Perkataan “moratoir” berasal dari kata Latin “mora” yang
berarti kealpaan atau kelalaian. Jadi bunga moratoir berarti bunga yang
harus dibayar (sebagai hukuman) karena debitur itu alpa atau lalai
membayar utangnya, ditetapkan sebesar 6 prosen setahun. Juga bunga
tersebut baru dihitung sejak dituntutnya ke pengadilan, jadi sejak
dimasukkannya surat gugatan.
2. Pembatalan Perjanjian
Pembatalan perjanjian, bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada
keadaan sebelum perjanjian diadakan. Dikatakan bahwa pembatalan itu
berlaku surut sampai pada detik dilahirkannya perjanjian. Kalau suatu
pihak sudah menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun
barang, maka itu harus dikembalikan. Pokoknya, perjanjian itu
ditiadakan.
Pembatalan perjanjian karena kelalaian debitur diatur dalam pasal 1266
KUHPer yang mengatur mengenai perikatan bersyarat, yang berbunyi:
“Syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam
perjanjian-perjanjian yang timbal balik, manakala salah satu pihak tidak
memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi
hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.Permintaan ini
juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya
kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian.Jika syarat batal tidak
dinyatakan dalam perjanjian, hakim leluasa menurut keadaan atas
permintaan si tergugat, untuk memberikan suatu jangka waktu guna
kesempatan memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana tidak boleh lebih
dari satu bulan”.
Pembatalan perjanjian itu harus dimintakan kepada hakim, bukan batal
secara otomatis walaupun debitur nyata-nyata melalaikan kewajibannya.
Putusan hakim itu tidak bersifat declaratoir tetapi constitutif,
secara aktif membatalkan perjanjian itu. Putusan hakim tidak berbunyi
“Menyatakan batalnya perjanjian antara penggugat dan tergugat”
melainkan, “Membatalkan perjanjian”.
Hakim harus mempunyai kekuasaan discretionair, artinya : kekuasaan untuk
menilai besar kecilnya kelalaian debitur dibandingkan dengan beratnya
akibat pembatalan perjanjian yang mungkin menimpa si debitur itu. Kalau
hakim menimbang kelalaian debitur itu terlalu kecil, sedangkan
pembatalan perjanjian akan membawa kerugian yang terlalu besar bagi
debitur, maka permohonan untuk membatalkan perjanjian akan ditolak oleh
hakim. Menurut pasal 1266 hakim dapat memberikan jangka waktu kepada
debitur untuk masih memenuhi kewajibannya. Jangka waktu ini terkenal
dengan nama “terme de grace”.
3. Peralihan Resiko
Sebagai sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur disebutkan dalam
pasal 1237 KUHPer. Yang dimaksudkan dengan “resiko” adalah kewajiban
untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan
salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian.
Peralihan resiko dapat digambarkan demikian :
Menurut pasal 1460 KUHPer, maka resiko dalam jual beli barang tertentu
dipikulkan kepada si pembeli, meskipun barangnya belum diserahkan. Kalau
si penjual itu terlambat menyerahkan barangnya, maka kelalaian ini
diancam dengan mengalihkan resiko tadi dari si pembeli kepada si
penjual. Jadi dengan lalainya sipenjual, resiko itu beralih kepada dia.
4. Membayar Biaya Perkara
Tentang pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi keempat bagi
seorang debitur yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan Hukum
Acara, bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara.
Menurut pasal 1267 KUHPer, pihak kreditur dapat menuntut si debitur yang lalai untuk melakukan :
- pemenuhan perjanjian;
- pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi;
- ganti rugi saja;
- pembatalan perjanjian; pembatalan disertai ganti rugi,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar